Sebuah Apel

by 00.10 0 comments



Di Jerman, pada suatu masa, hiduplah seorang tukang arloji. Namanya Herman Josef. Dia tinggal di sebuah kamar yang sempit. Di kamar itu ada sebuah bangku kerja, sebuah lemari tempat kayu dan perkakas kerjanya, sebuah rak untuk tempat piring dan gelas serta tempat tidur lipat di bawah bangku kerjanya. Selain puluhan arloji yang sudah lama dibuatnya, tidak ada barang berharga lain di kamarnya.Di jendela kaca kamar itu Herman meletakkan sebuah jam dinding paling bagus untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Herman adalah seorang tukang arloji yang miskin. Pakaiannya compang-camping. Tetapi dia baik hati. Anak-anak di sekitar rumah menyukainya. Kalau mainan mereka rusak, Herman biasa diminta memperbaiki. Herman tak pernah minta satu sen pun untuk jasa reparasi itu. “Belilah makanan yang enak untuk anakmu atau tabunglah uang itu untuk hari Natal,” Begitulah jawaban yang selalu Herman katakan.


Sejak dulu penduduk kota itu biasa membawa hadiah Natal ke katedral dan meletakannya di kaki patung Bunda Maria yang sedang memangku bayi Yesus. Setiap orang menabung supaya bisa memberi hadiah paling indah kepada Yesus. Orang-orang berkata, kalau Yesus menyukai hadiah yang diberikan kepadaNya, Ia akan mengulurkan tanganNya untuk menyambut bingkisan itu. Namun ini tampaknya hanya sebuah legenda. Belum pernah terjadi Bayi Yesus dalam pelukan Maria mengulurkan tangan menyambut bingkisan Natal untukNya. Meskipun begitu penduduk kota itu selalu berusaha membawa bingkisan yang paling indah. Misalnya, para penulis puisi membuat syair-syair yang indah. Anak-anak juga tidak ketinggalan. Setiap orang berlomba memberikan yang terbaik pada Yesus di hari Natal. Siapa tahu, kata mereka, Yesus mengulurkan tangan memberi pemberian itu. Orang-orang yang tidak punya bingkisan pergi ke Gereja untuk berbakti pada malam Natal sekaligus menilai bingkisan mana yang terindah. Herman, tukang arloji, adalah salah seorang yang hanya pergi untuk berbakti dan menonton. Pernah ada seorang teman mencegah Herman dan bertanya, “Kau tidak tahu malu. Tiap tahun kau tak pernah membawa bingkisan Natal buat Yesus!”


Pernah pula suatu kali panitia Natal bertanya, “Herman, mana Natal darimu? Orang-orang yang lebih miskin dari kau saja selalu membawa.”


Herman menjawab, “Tunggulah, suatu ketika saya akan membawa bingkisan saya,”


Herman memang sudah sejak lama mempunyai sebuah ide tentang bingkisan Natal yang istimewa untuk Yesus. Tiap hari dia bekerja untuk bingkisan natal itu. Tidak seorangpun yang tahu ide itu kecuali Trude, anak perempuan tetangganya. Trude berumur 7 tahun waktu ia mendengar ide Herman. Tetapi setelah Trude berumur 31 tahun, bingkisan itu belum juga selesai. Herman bermaksud membuat sebuah jam dinding. Mungkin yang paling indah dan belum pernah ada. Setiap bagian dikerjakannya dengan hati-hati dan penuh kasih. Bingkainya, jarum-jarumnya, dan semuanya diukir dengan teliti. Sudah 24 tahun Herman merangkai jam dinding itu. Memasuki tahun ke 25, jam itu hampir selesai. Tapi Herman juga masih terus membantu memperbaiki mainan anak-anak. Perhatiannya pada hadiah Natal itu membuat Herman tidak punya cukup waktu untuk membuat arloji lain dan menjualnya. Kadang Herman tidur dengan perut kosong. Ia makin tambah kurus tetapi jam dindingnya makin tambah cantik.  Pada jam dinding itu ada miniatur kandang, Bunda Maria yang sedang berlutut di samping palungan yang didalamnya berbaring bayi Yesus. Di sekeliling palungan itu ada Yosef serta tiga orang Majus, gembala-gembala dan dua orang malaikat. Ketika jam dinding itu berdentang, orang-orang itu berlutut di depan palungan Yesus dan terdengarlah lagu Gloria in excelsis Deo.


“Lihatlah ini!” kata Herman pada Trude. “Ini berarti bahwa kita harus menyembah Yesus bukan hanya pada hari Minggu atau pada hari raya saja tetapi pada setiap hari dan setiap jam. Yesus menunggubingkisan kita setiap detik.”


Akhirnya selesai juga jam dinding itu dibuat. Herman merasa puas. Ia meletakkan benda itu di jendela kaca kamarnya supaya bisa dilihat banyak orang. Orang-orang yang lewatberdiri berjam-jam mengagumi benda itu. Mereka sudah menduga bahwa ini pasti bingkisan Natal dari Herman.


Hari Natal sudah tiba. Pagi itu Herman membersihkan rumahnya. Ia mengambil pakaiannya yang paling bagus. Sambil bekerja ia melihat jam dinding itu. Ia takut jangan-jangan ada kerusakan. Dia bahagia sekali sehingga dia memberikan uang yang masih ia miliki kepada pengemis-pengemis yang lewat di depan rumahnya.


Tiba-tiba ia ingat, sejak pagi dia belum sarapan. Ia perlu ke pasar membeli sepotong roti dengan uang terakhir yang masih ada padanya. Di lemarinya ada sebuah apel. Ia mau makan roti dengan apel itu.


Namun waktu ia membuka pintu, Trude masuk sambil menangis. “Ada apa?” tanya Herman.


“Suamiku mengalami kecelakaan. Sekarang dia di rumah sakit. Uang yang kami tabuung untuk membeli pohon Natal dan kue harus saya pakai untuk bayar dokter. Anak-anak sudah menunggu hadiah Natal. Apa lagi yang harus saya berikan kepada mereka?”


Herman tersenyum. “Tenanglah Trude. Semua akan beres. Saya akan pergi menjual arloji. Kita akan punya cukup uang untuk membeli mainan anak-anak. Pulanglah!”


Herman mengenakan jas dinginnya lalu pergi ke pasar dengan membawa sebuah arloji yang unik. Ia menawarkan arloji itu di toko arloji. Tetapi mereka tidak berminat. Ia pergi ke kantor gadai tetapi pegawai-pegawai disana berkata bahwa arloji itu kuno. Akhirnya ia pergi ke rumah walikota. “Tuan, saya butuh uang untuk membeli mainan bagi beberapa anak. Kalau tuan mau, silakan ambil arloji ini.”


Pak walikota tertawa. “Saya mau membeli arloji tetapi bukan yang ini. Saya mau jam dinding yang ada di jendela kaca rumah mu. Berapapun harga nya saya bayar.”


“Tidak mungkin Tuan. Benda itu tidak saya jual.”


“Apa? Bagi saya semua mungkin. Pergilah sekarang. Satu jam lagi saya akan kirim polisi untuk ambil jam dinding itu dan kau dapat uang 1000 gulden.”


Herman pergi sambil geleng-geleng kepala. “Tidak mungkin! Saya mau menjual semua yang saya punya. Tapi jam dinding itu, tidak untuk dijual. Iatu untuk Yesus.”


Waktu ia tiba dekat rumah, Trude dan anak-anak nya sudah menunggu. Mereka sedang bernyanyi. Merdu sekali. Baru saja Herman masuk, ebebrapa orang polisi sudah berdiri di depan pintu. Mereka berteriak agar pintu dibuka. Jam dinding itu mereka ambil dan uang 1000 gulden diberikan pada Herman. Tetapi Herman tidak mau menerima uang itu. “Barang itu tidak saya jual. Ambillah uang itu,” teriak Herman sedih.


Orang-orang itu pergi membawa jam dinding serta uang tadi. Pada waktu itu lonceng gereja berdentang. Jalan menuju katedral penuh manusia. Tiap orang membawa bingkisan di tangan. “Kali ini saya pergi dengan tangan kosong lagi,” kata Herman sedih. “Saya akan buat lagi satu yang lebih cantik.” Herman bangkit untuk pergi ke gereja.


Saat itu ia melihat apel di dalam lemari. Ia tersenyum dan meraih apel itu. “Inilah satu-satunya yang saya punya, makanan saya pada hari Natal. Saya akan berikan ini pada Yesus. Ini lebih baik daripada pergi dengan tangan kosong.”


Katedral penuh. Suasana bukan main semarak. Ratusan lilin menyala dan bau kemenyan tercium dimana-mana. Altar tempat patung Maria memangku bayi Yesus penuh dengan bingkisan. Semuanya indah dan mahal. Disitu juga ada jam dinding yang indah buatan Herman. Rupanya pak walikota mempersembahkan benda itu kepada Yesus.


Herman masuk. Ia melangkah dengan kaki berat menuju altar dengan memegang apel. Semua mata tertuju padanya. Ia mendengar mereka mengejek, makin jelas. “Ampun deh! Dia memang benar-benar pelit. Jam dinding nya yang indah dia jual. Tetapi lihatlah apa yang dia bawa? Memalukan!”Hati Herman sedih, tetapi ia terus maju. Kepalanya tertunduk. Ia tidak berani memandang orang sekeliling. Matanya ditutup.


Tangan yang kiri diulurkan ke depan untuk membuka jalan. Jarak altar masih jauh. Herman tahu bahwa ia harus naik anak tangga untuk sampai ke altar. Sekarang kakinya menyentuh anak tangga pertama. Herman berhenti sebentar. Ia tidak punya tenaga lagi. Sejak pagi dia belum makan apa-apa. Masih ada tujuh anak tangga. “Dapatkah saya sampai ke altar itu?” Herman mulai menghitung. Satu! Dua! Tiga! Empat! Lalu ia terantuk dan hampir terguling ke bawah.


Serentak semua orang berkata, “Memalukan!”


Setelah mengumpulkan sisa tenaga, Herman bergerak lagi. Tangga ke lima. Terdengar suara mengejek: “Huuuuuu..!”


Herman naik setapak lagi. Tangga ke enam. Omelan dan ejekan orang-orang berhenti. Sebagai gantinya terdengar seruan keheranan semua orang yang hadir. “Mukjizat! Ini sebuah mukjizat!”


Semua hadirin turun dari kursi dan berlutut. Imam merapatkan tangannya dan mengucapkan doa. Herman, tukang arloji yang miskin ini menaiki anak tangga yang terakhir. Ia mengangkat wajahnya. Dengan heran ia melihat patung bayi Yesus yang ada di pangkuan Bunda Maria sedang mengulurkan tangan untuk menerima bingkisan Natal darinya.



Air mata menetes dari tukang arloji itu. Inilah Natal terindah dalam hidupnya.

Lisia

Author

properly a pharmacist and marketer. food-lover. not so good in cooking and baking but still learning hard. enjoying life with postcrossing.

0 comments:

Posting Komentar